Wikipedia.org mencatat, di negeri ini, suku bangsa Jawa merupakan suku bangsa yang terbesar jumlahnya, yakni sekitar 90 juta jiwa. Kebanyakan dari mereka, dijumpai di provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedikit sisanya tersebar di provinsi Jawa Barat dan Banten serta DKI Jakarta.
Khusus di Jawa Timur, terdapat subsuku Osing dan Tengger. Suku Osing merupakan penduduk asli Banyuwangi, sedangkan suku Tengger tinggal di sekitar Gunung Bromo (pegunungan Tengger), yakni di sebagian wilayah Kabupaten Pasuruan, Probolinggo dan Malang.
Etnisitas ini lebih beragam lagi jika ditambah dengan adanya suku Madura, yang mendiami pulau Madura dan daerah tapal kuda (Jawa Timur bagian timur); utamanya di daerah pesisir utara dan selatan. Juga orang Samin, yang tinggal di sebagian pedalaman Kabupaten Bojonegoro. Serta sedikit suku Bali, yang menempati sejumlah desa di Kabupaten Banyuwangi.
Kekayaan budaya etnisitas
Nah, dalam komunikasi komunitas, suku Jawa ini ternyata memiliki beragam dialek. Perbedaan ini didasarkan pada adanya karakteristik, wilayah dan budaya setempat. Perbedaan ini bisa mencapai 0-70%. Secara garis besar, pengelompokannya –mengacu pada E.M. Uhlenbeck, dalam bukunya A Critical Survey of Studies on the Languages of Java and Madura (1964)- terbagi menjadi tiga bagian besar.
Pertama, kelompok bahasa Jawa bagian Barat. Terdiri atas: Dialek Banten, Cirebon, Tegal, Banyumasan dan Dialek Bumiayu (peralihan Tegal dan Banyumas). Kelompok ini sering disebut Bahasa Jawa ngapak-ngapak. Kedua, kelompok bahasa Jawa bagian Tengah. Terdiri atas: Dialek Pekalongan, Kedu, Bagelen, Semarang, Pantai Utara Timur (Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati), Blora, Surakarta, Yogyakarta dan Dialek Madiun. Kelompok ini sering disebut Bahasa Jawa Standar, khususnya untuk dialek Surakarta dan Yogyakarta. Ketiga, kelompok bahasa Jawa bagian Timur. Terdiri atas: Dialek Pantura Jawa Timur (Tuban, Bojonegoro), Surabaya, Malang, Jombang, Tengger dan Dialek Banyuwangi. Kelompok ini sering disebut Bahasa Jawa Timuran.
Sekadar catatan tambahan, Dialek Madiun dipergunakan di daerah Jawa Timur Mataraman (perbatasan Jawa Tengah bagian tengah dan selatan). Daerah Kadipaten Mediyun atau yang sekarang eks Karesidenan Madiun, meliputi Kota Madiun, Kabupaten Madiun, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Magetan, Kabupaten Ponorogo, dan Kabupaten Pacitan. Memang, kini kesemuanya termasuk dalam wilayah provinsi Jawa Timur, namun sebelum proklamasi RI, masuk dalam Kesultanan Mataram (Jogja/Solo), sehingga dialek Madiun justru lebih dekat dengan dialek Jawa Tengah ketimbang dialek Jawa Timur Surabaya.
Dialek Surabaya atau lebih sering dikenal sebagai bahasa Suroboyoan sendiri adalah sebuah dialek bahasa Jawa yang dituturkan (berkembang dan digunakan oleh sebagian masyarakat) di Surabaya dan sekitarnya. Adapun batas wilayah penggunaan dialek Suroboyoan diperkirakan sampai Perak, Kab. Jombang (bukan Tanjung Perak di Surabaya) untuk wilayah Selatan. Hal ini ditandai dengan wilayah Perak Utara yang masih mempergunakan Dialek Surabaya, sementara Perak Selatan telah mempergunakan Dialek Kulonan. Di wilayah Utara, berbatasan dengan Madura. Tandanya, beberapa orang Madura dapat menggunakan dialek ini secara aktif. Di Barat, termasuk pada wilayah Gresik. Sedangkan untuk batas Timur, belum diketahui.
Dialek Tengger, dituturkan oleh masyarakat yang tinggal di daerah Gunung Bromo, yang termasuk wilayah Pasuruan, Probolinggo, Malang dan Lumajang. Di Pasuruan, dialek Tengger ditemukan di Kecamatan Tosari. Lalu di Probolinggo, ada di daerah Kecamatan Sukapura. Sedangkan pada wllayah Malang, dialek Tengger dituturkan di wilayah Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo. Di Lumajang, dituturkan di wilayah Ranupane, Kecamatan Senduro. Dialek Tengger ini dianggap sebagai turunan Basa Kawi dan banyak mempertahankan kalimat-kalimat kuno yang sudah tak digunakan lagi dalam Bahasa Jawa modern. Misalnya, kata “aku”. Jika yang berbicara lelaki disebut reang; namun jika yang berbicara perempuan, menjadi isun. Apabila abjad a dalam bahasa Jawa modern dibaca O, di Tengger dibaca A.
Dialek Banyuwangi (atau disebut Bahasa Osing) adalah nama dialek bahasa Jawa yang dipertuturkan di daerah Banyuwangi, Jawa Timur. Kata osing berasal dari kata tusing dalam bahasa Bali, yang artinya ialah tidak. Jumlah penduduk asli Banyuwangi yang acap disebut sebagai Lare Using ini diperkirakan mencapai 500 ribu jiwa, dan secara otomatis menjadi pendukung tutur Bahasa Jawa Osing ini. Penutur Bahasa Jawa-Osing ini tersebar terutama di wilayah tengah Kabupaten Banyuwangi, terutama kecamatan-kecamatan: Kabat, Rogojampi, Glagah, Kalipuro, Srono, Songgon, Cluring, Giri, sebagian kota Banyuwangi, Gambiran, Singojuruh, sebagian Genteng dan Licin.
Sedangkan wilayah lainnya adalah wilayah tutur campuran, baik Bahasa Jawa ataupun Bahasa Madura. Selain di Banyuwangi, penutur bahasa ini juga dapat dijumpai di wilayah Kabupaten Jember, terutama di Dusun Krajan Timur, Desa Glundengan, Kecamatan Wuluhan, Jember. Namun dialek Osing di wilayah Jember ini telah banyak terpengaruh bahasa Jawa dan Madura; di samping keterisolasiannya dari daerah Osing di Banyuwangi.
Bahasa Jawa Osing mempunyai banyak kesamaan dan memiliki kosakata Bahasa Jawa Kuna yang masih tertinggal. Namun di wilayah Banyuwangi sendiri terdapat variasi penggunaan dan kekunaan juga terlihat di situ. Varian yang dianggap Kunoan terdapat utamanya di wilayah Giri, Glagah dan Licin, dimana bahasa Osing di sana masih dianggap murni. Sedangkan Bahasa Jawa Osing di Kabupaten Jember telah banyak terpengaruh bahasa Jawa dan Madura, serta pelafalan yang berbeda dengan Bahasa Jawa Osing di Banyuwangi.
chatt
|
Selasa, 20 September 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Selasa, 20 September 2011
KEUNIKAN BUDAYA JAWA TIMUR
Wikipedia.org mencatat, di negeri ini, suku bangsa Jawa merupakan suku bangsa yang terbesar jumlahnya, yakni sekitar 90 juta jiwa. Kebanyakan dari mereka, dijumpai di provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedikit sisanya tersebar di provinsi Jawa Barat dan Banten serta DKI Jakarta.
Khusus di Jawa Timur, terdapat subsuku Osing dan Tengger. Suku Osing merupakan penduduk asli Banyuwangi, sedangkan suku Tengger tinggal di sekitar Gunung Bromo (pegunungan Tengger), yakni di sebagian wilayah Kabupaten Pasuruan, Probolinggo dan Malang.
Etnisitas ini lebih beragam lagi jika ditambah dengan adanya suku Madura, yang mendiami pulau Madura dan daerah tapal kuda (Jawa Timur bagian timur); utamanya di daerah pesisir utara dan selatan. Juga orang Samin, yang tinggal di sebagian pedalaman Kabupaten Bojonegoro. Serta sedikit suku Bali, yang menempati sejumlah desa di Kabupaten Banyuwangi.
Kekayaan budaya etnisitas
Nah, dalam komunikasi komunitas, suku Jawa ini ternyata memiliki beragam dialek. Perbedaan ini didasarkan pada adanya karakteristik, wilayah dan budaya setempat. Perbedaan ini bisa mencapai 0-70%. Secara garis besar, pengelompokannya –mengacu pada E.M. Uhlenbeck, dalam bukunya A Critical Survey of Studies on the Languages of Java and Madura (1964)- terbagi menjadi tiga bagian besar.
Pertama, kelompok bahasa Jawa bagian Barat. Terdiri atas: Dialek Banten, Cirebon, Tegal, Banyumasan dan Dialek Bumiayu (peralihan Tegal dan Banyumas). Kelompok ini sering disebut Bahasa Jawa ngapak-ngapak. Kedua, kelompok bahasa Jawa bagian Tengah. Terdiri atas: Dialek Pekalongan, Kedu, Bagelen, Semarang, Pantai Utara Timur (Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati), Blora, Surakarta, Yogyakarta dan Dialek Madiun. Kelompok ini sering disebut Bahasa Jawa Standar, khususnya untuk dialek Surakarta dan Yogyakarta. Ketiga, kelompok bahasa Jawa bagian Timur. Terdiri atas: Dialek Pantura Jawa Timur (Tuban, Bojonegoro), Surabaya, Malang, Jombang, Tengger dan Dialek Banyuwangi. Kelompok ini sering disebut Bahasa Jawa Timuran.
Sekadar catatan tambahan, Dialek Madiun dipergunakan di daerah Jawa Timur Mataraman (perbatasan Jawa Tengah bagian tengah dan selatan). Daerah Kadipaten Mediyun atau yang sekarang eks Karesidenan Madiun, meliputi Kota Madiun, Kabupaten Madiun, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Magetan, Kabupaten Ponorogo, dan Kabupaten Pacitan. Memang, kini kesemuanya termasuk dalam wilayah provinsi Jawa Timur, namun sebelum proklamasi RI, masuk dalam Kesultanan Mataram (Jogja/Solo), sehingga dialek Madiun justru lebih dekat dengan dialek Jawa Tengah ketimbang dialek Jawa Timur Surabaya.
Dialek Surabaya atau lebih sering dikenal sebagai bahasa Suroboyoan sendiri adalah sebuah dialek bahasa Jawa yang dituturkan (berkembang dan digunakan oleh sebagian masyarakat) di Surabaya dan sekitarnya. Adapun batas wilayah penggunaan dialek Suroboyoan diperkirakan sampai Perak, Kab. Jombang (bukan Tanjung Perak di Surabaya) untuk wilayah Selatan. Hal ini ditandai dengan wilayah Perak Utara yang masih mempergunakan Dialek Surabaya, sementara Perak Selatan telah mempergunakan Dialek Kulonan. Di wilayah Utara, berbatasan dengan Madura. Tandanya, beberapa orang Madura dapat menggunakan dialek ini secara aktif. Di Barat, termasuk pada wilayah Gresik. Sedangkan untuk batas Timur, belum diketahui.
Dialek Tengger, dituturkan oleh masyarakat yang tinggal di daerah Gunung Bromo, yang termasuk wilayah Pasuruan, Probolinggo, Malang dan Lumajang. Di Pasuruan, dialek Tengger ditemukan di Kecamatan Tosari. Lalu di Probolinggo, ada di daerah Kecamatan Sukapura. Sedangkan pada wllayah Malang, dialek Tengger dituturkan di wilayah Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo. Di Lumajang, dituturkan di wilayah Ranupane, Kecamatan Senduro. Dialek Tengger ini dianggap sebagai turunan Basa Kawi dan banyak mempertahankan kalimat-kalimat kuno yang sudah tak digunakan lagi dalam Bahasa Jawa modern. Misalnya, kata “aku”. Jika yang berbicara lelaki disebut reang; namun jika yang berbicara perempuan, menjadi isun. Apabila abjad a dalam bahasa Jawa modern dibaca O, di Tengger dibaca A.
Dialek Banyuwangi (atau disebut Bahasa Osing) adalah nama dialek bahasa Jawa yang dipertuturkan di daerah Banyuwangi, Jawa Timur. Kata osing berasal dari kata tusing dalam bahasa Bali, yang artinya ialah tidak. Jumlah penduduk asli Banyuwangi yang acap disebut sebagai Lare Using ini diperkirakan mencapai 500 ribu jiwa, dan secara otomatis menjadi pendukung tutur Bahasa Jawa Osing ini. Penutur Bahasa Jawa-Osing ini tersebar terutama di wilayah tengah Kabupaten Banyuwangi, terutama kecamatan-kecamatan: Kabat, Rogojampi, Glagah, Kalipuro, Srono, Songgon, Cluring, Giri, sebagian kota Banyuwangi, Gambiran, Singojuruh, sebagian Genteng dan Licin.
Sedangkan wilayah lainnya adalah wilayah tutur campuran, baik Bahasa Jawa ataupun Bahasa Madura. Selain di Banyuwangi, penutur bahasa ini juga dapat dijumpai di wilayah Kabupaten Jember, terutama di Dusun Krajan Timur, Desa Glundengan, Kecamatan Wuluhan, Jember. Namun dialek Osing di wilayah Jember ini telah banyak terpengaruh bahasa Jawa dan Madura; di samping keterisolasiannya dari daerah Osing di Banyuwangi.
Bahasa Jawa Osing mempunyai banyak kesamaan dan memiliki kosakata Bahasa Jawa Kuna yang masih tertinggal. Namun di wilayah Banyuwangi sendiri terdapat variasi penggunaan dan kekunaan juga terlihat di situ. Varian yang dianggap Kunoan terdapat utamanya di wilayah Giri, Glagah dan Licin, dimana bahasa Osing di sana masih dianggap murni. Sedangkan Bahasa Jawa Osing di Kabupaten Jember telah banyak terpengaruh bahasa Jawa dan Madura, serta pelafalan yang berbeda dengan Bahasa Jawa Osing di Banyuwangi.
Khusus di Jawa Timur, terdapat subsuku Osing dan Tengger. Suku Osing merupakan penduduk asli Banyuwangi, sedangkan suku Tengger tinggal di sekitar Gunung Bromo (pegunungan Tengger), yakni di sebagian wilayah Kabupaten Pasuruan, Probolinggo dan Malang.
Etnisitas ini lebih beragam lagi jika ditambah dengan adanya suku Madura, yang mendiami pulau Madura dan daerah tapal kuda (Jawa Timur bagian timur); utamanya di daerah pesisir utara dan selatan. Juga orang Samin, yang tinggal di sebagian pedalaman Kabupaten Bojonegoro. Serta sedikit suku Bali, yang menempati sejumlah desa di Kabupaten Banyuwangi.
Kekayaan budaya etnisitas
Nah, dalam komunikasi komunitas, suku Jawa ini ternyata memiliki beragam dialek. Perbedaan ini didasarkan pada adanya karakteristik, wilayah dan budaya setempat. Perbedaan ini bisa mencapai 0-70%. Secara garis besar, pengelompokannya –mengacu pada E.M. Uhlenbeck, dalam bukunya A Critical Survey of Studies on the Languages of Java and Madura (1964)- terbagi menjadi tiga bagian besar.
Pertama, kelompok bahasa Jawa bagian Barat. Terdiri atas: Dialek Banten, Cirebon, Tegal, Banyumasan dan Dialek Bumiayu (peralihan Tegal dan Banyumas). Kelompok ini sering disebut Bahasa Jawa ngapak-ngapak. Kedua, kelompok bahasa Jawa bagian Tengah. Terdiri atas: Dialek Pekalongan, Kedu, Bagelen, Semarang, Pantai Utara Timur (Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati), Blora, Surakarta, Yogyakarta dan Dialek Madiun. Kelompok ini sering disebut Bahasa Jawa Standar, khususnya untuk dialek Surakarta dan Yogyakarta. Ketiga, kelompok bahasa Jawa bagian Timur. Terdiri atas: Dialek Pantura Jawa Timur (Tuban, Bojonegoro), Surabaya, Malang, Jombang, Tengger dan Dialek Banyuwangi. Kelompok ini sering disebut Bahasa Jawa Timuran.
Sekadar catatan tambahan, Dialek Madiun dipergunakan di daerah Jawa Timur Mataraman (perbatasan Jawa Tengah bagian tengah dan selatan). Daerah Kadipaten Mediyun atau yang sekarang eks Karesidenan Madiun, meliputi Kota Madiun, Kabupaten Madiun, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Magetan, Kabupaten Ponorogo, dan Kabupaten Pacitan. Memang, kini kesemuanya termasuk dalam wilayah provinsi Jawa Timur, namun sebelum proklamasi RI, masuk dalam Kesultanan Mataram (Jogja/Solo), sehingga dialek Madiun justru lebih dekat dengan dialek Jawa Tengah ketimbang dialek Jawa Timur Surabaya.
Dialek Surabaya atau lebih sering dikenal sebagai bahasa Suroboyoan sendiri adalah sebuah dialek bahasa Jawa yang dituturkan (berkembang dan digunakan oleh sebagian masyarakat) di Surabaya dan sekitarnya. Adapun batas wilayah penggunaan dialek Suroboyoan diperkirakan sampai Perak, Kab. Jombang (bukan Tanjung Perak di Surabaya) untuk wilayah Selatan. Hal ini ditandai dengan wilayah Perak Utara yang masih mempergunakan Dialek Surabaya, sementara Perak Selatan telah mempergunakan Dialek Kulonan. Di wilayah Utara, berbatasan dengan Madura. Tandanya, beberapa orang Madura dapat menggunakan dialek ini secara aktif. Di Barat, termasuk pada wilayah Gresik. Sedangkan untuk batas Timur, belum diketahui.
Dialek Tengger, dituturkan oleh masyarakat yang tinggal di daerah Gunung Bromo, yang termasuk wilayah Pasuruan, Probolinggo, Malang dan Lumajang. Di Pasuruan, dialek Tengger ditemukan di Kecamatan Tosari. Lalu di Probolinggo, ada di daerah Kecamatan Sukapura. Sedangkan pada wllayah Malang, dialek Tengger dituturkan di wilayah Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo. Di Lumajang, dituturkan di wilayah Ranupane, Kecamatan Senduro. Dialek Tengger ini dianggap sebagai turunan Basa Kawi dan banyak mempertahankan kalimat-kalimat kuno yang sudah tak digunakan lagi dalam Bahasa Jawa modern. Misalnya, kata “aku”. Jika yang berbicara lelaki disebut reang; namun jika yang berbicara perempuan, menjadi isun. Apabila abjad a dalam bahasa Jawa modern dibaca O, di Tengger dibaca A.
Dialek Banyuwangi (atau disebut Bahasa Osing) adalah nama dialek bahasa Jawa yang dipertuturkan di daerah Banyuwangi, Jawa Timur. Kata osing berasal dari kata tusing dalam bahasa Bali, yang artinya ialah tidak. Jumlah penduduk asli Banyuwangi yang acap disebut sebagai Lare Using ini diperkirakan mencapai 500 ribu jiwa, dan secara otomatis menjadi pendukung tutur Bahasa Jawa Osing ini. Penutur Bahasa Jawa-Osing ini tersebar terutama di wilayah tengah Kabupaten Banyuwangi, terutama kecamatan-kecamatan: Kabat, Rogojampi, Glagah, Kalipuro, Srono, Songgon, Cluring, Giri, sebagian kota Banyuwangi, Gambiran, Singojuruh, sebagian Genteng dan Licin.
Sedangkan wilayah lainnya adalah wilayah tutur campuran, baik Bahasa Jawa ataupun Bahasa Madura. Selain di Banyuwangi, penutur bahasa ini juga dapat dijumpai di wilayah Kabupaten Jember, terutama di Dusun Krajan Timur, Desa Glundengan, Kecamatan Wuluhan, Jember. Namun dialek Osing di wilayah Jember ini telah banyak terpengaruh bahasa Jawa dan Madura; di samping keterisolasiannya dari daerah Osing di Banyuwangi.
Bahasa Jawa Osing mempunyai banyak kesamaan dan memiliki kosakata Bahasa Jawa Kuna yang masih tertinggal. Namun di wilayah Banyuwangi sendiri terdapat variasi penggunaan dan kekunaan juga terlihat di situ. Varian yang dianggap Kunoan terdapat utamanya di wilayah Giri, Glagah dan Licin, dimana bahasa Osing di sana masih dianggap murni. Sedangkan Bahasa Jawa Osing di Kabupaten Jember telah banyak terpengaruh bahasa Jawa dan Madura, serta pelafalan yang berbeda dengan Bahasa Jawa Osing di Banyuwangi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar